Keterbukaan Teks AL-Qur'an [2]


Muhammad Iqbal

Di antara tokoh non-Arab yang menekuni kajian al-Qur'an dan berhasil memetik manfaat yang tak ternilai dari a-Qur'an adalah seorang penyair muslim, Muhammad Iqbal. Abu Hasan An-Nadwi menuliskan kesannya tentang Iqbal..

Katanya:

"Al-Qur'an merasuk ke dalam pikiran dan jiwa Iqbal melebihi apapun. Tak ada buku atau figur lain yang menandingi. Hingga akhir hayatnya, Iqbal tak henti menyelami samudera al-Qur'an, terbang di semesta ayat-ayatnya, lalu kembali dengan membawa ilmu baru, iman baru, pencerahan baru, dan semangat baru."

Iqbal yang pernah berhenti belajar, wawasannya semakin luas, memantapkan keimanannya bahwa al-Qur'an adalah Kitab Suci yang akan abadi, sumber ilmu yang takkan pernah lekang, sumber kebahagiaan, kunci kebebasan, solusi setiap persoalan, tata aturan hidup, dan pelita kegelapan.

"Iqbal selalu mengajak semua kalangan -muslim maupun nonmuslim- untuk merenungi, memahami, mengkaji, dan menjadikan kitab menakjubkan sebagai solusi bagi setiap persoalan kontemporer, sebagai fatwa untuk mengatasi krisis kebudayaan dan sebagai sumber hukum kehidupan. Iqbal mencela umat Islam yang berpaling dari Kitab Suci- yang dengannya Allah mengangkat derajat suatu kaum dan dengannya pula Ia menjadikan yang lain terpuruk."

 Iqbal berkata:

"Kalian, umat Islam, masih saja tertawan oleh para pembual agama dan orang-orang yang memonopoli ilmu. Kalian tidak menyandarkan hidup kepada al-Qur'an, kitab yang mestinya menjadi sumber kekuatan hidupmu dan mata air semangatmu. Kalian malah tak pernah terpaut dengannya kecuali pada detik-detik kematianmu: kau dibacakan surah Yasin agar kau bisa mati dengan mudah. Sungguh ironis, kitab yang diturunkan untuk memberimu kekuatan hidup justru dibacakan agar kau meninggal secara mudah. Kukatakan kepada kalian: apa yang kupercayai dan yang kaupeluk itu lebih dari sekedar Kitab Suci. Jika ia merasuk ke relung kalbu, manusia akan berubah. Jika manusia berubah, dunia pun akan berubah."[1]

Said Nursi

Said Nursi adalah contoh lain tokoh non-Arab yang menekuni kajian al-Qur'an, mendapatkan kesan mendalam dan limpahan pengetahuan darinya. Kesan itu sebagian besar dituliskan dalam karyanya yang berjudul Rasail an-Nur. Said adalah salah satu tokoh yang menjaga Islam di Turki pada masa runtuhnya khilafah yang mengubah negara itu menjadi negara sekuler.

Sebelum benar-benar menjadikan al-Qur'an sebagai guru sejati, Said sempat berada dalam kebingungan. Ia mencari guru rohani yang akan dijadikan sandaran. Ia menelaah ujaran-ujaran Syekh Abdul Qodir Jailani dalam Futuhat Ghaib dan al-Sarahindi dalam al-Maktubat, serta membandingkan keduanya.

Said mengisahkan:

Aku betul-betul bingung: Siapakah yang akan dijadikan guru? Ketika terombang-ambing dalam kebingungan seperti ini, tiba-tiba melintas sebuah bisikan di benakku: "Sesungguhnya awal dari semua jalan ini, sumber dari aliran sungai ini, dan matahari sebagai pusat semua planet ini hanya satu: Al-Qur'an. Dialah petunjuk paling agung dan guru paling suci.

Semenjak itulah kuhadapkan diriku kepada al-Qur'an, berpegang teguh dan menyandarkan diri kepadanya. Kubulatkan tekadku dan kuhabiskan seluruh waktuku untuk merenungi al-Qur'an. Dan mulailah aku menapaki kebahagiaan baru dalam hidup ini. Aku mengembara dari satu kota ke kota lain. Dan dalam pengembaraan itulah memancar makna-makna agung dari ayat-ayat al-Qur'an ke dalam lubuk hatiku.

Risalah-risalah yang kunamai dengan Rasydil an-Nur itu kudiktekan kepada orang-orang di sekitarku. Risalah yang benar-benar memancar dari cahaya Al-Qur'an."[2]


Catatan kaki: 

[1] Rawai Iqbal, 28-40, dengan peringkasan
[2] Kulliyat Rasail an-Nur Sirah Dzatiyah.., hal. 161-162, dengan peringkasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan pesan, komentar dan masukan Anda sesuai etika & kesopanan yang berlaku